Becak itu melaju pelan. Menyusuri jalan mulus beraspal. Naik-turun tanjakan. Menuju Auditorium Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Sekaran, Gunungpati, Semarang. Gedung tempat digelarnya wisuda para sarjana.
Seorang perempuan berhijab duduk di bangku penumpang. Dandanannya rapi. Berbusana kebaya, berlapis toga hitam. Lengkap dengan topi segi lima di kepala. Di kursi belakang, seorang pria paruh baya sibuk mengayuh becak. Di tanjakan, pria itu harus menekan pedal sekuat tenaga dengan napas tersengal.
Perempuan berhijab itu adalah Raeni, mahasiswi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Unnes. Ia datang bersama sang ayah, Mugiyono, yang nafasnya tersengal karena dialah yang mengayuh becak itu. Saat tiba di pelataran auditorium, mereka berdua sontak menjadi pusat perhatian. Hampir seluruh mata menatap. Kagum.
Wajar saja apabila para wisudawan lain beserta keluarga yang hadir kagum pada Raeni. Sebab, mahasiswa bersahaja ini menyandang gelar lulusan terbaik. Dia lulus cumlaude, dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nyaris sempurna: 3,96.
Bagi Raeni, datang ke wisuda dengan naik becak yang dikayuh ayahnya bukanlah untuk memelas. Atau pula pencitraan sebagaimana banyak dilakukan politisi. Melainkan karena itulah satu-satunya kendaraan yang dipunya oleh keluarga. Becak itu dikayuh sang ayah dari Kendal ke Semarang. Jaraknya cukup jauh: 25 kilometer.
Menuntut ilmu hingga bangku kuliah bukan hal mudah bagi Raeni. Keluarganya hidup pas-pasan. Biaya kuliah yang selangit seolah tak pernah bisa tergapai oleh mereka. Namun karena tekad bulat, keluarga tetap menguliahkan si bungsu ini. Pada 2010, Mugiyono memutuskan berhenti dari perusahaan kayu lapis. Dia mengajukan pensiun dini demi mendapatkan pesangon untuk biaya kuliah.
“Sebagai orangtua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun dini dari perusahaan kayu lapis agar mendapatkan pesangon,” tutur Mugiyono sebagaimana dikutip laman Unnes.ac.id.
Sejak itu pula Mugiyono menarik becak. Saban hari ia mangkal tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Langenharjo, Kendal. Penghasilannya tak menentu. Kadang, dia mendapat Rp 50 ribu. Namun tak jarang pula hanya membawa pulang Rp 10 ribu. Hidup pas-pasan dari hasil menarik becak, Mugiyono terus memutar otak. Untuk menambah penghasilan, dia nyambi menjadi penjaga sekolah dengan upah Rp 450 ribu setiap bulan.
Beruntung, Raeni merupakan anak berotak encer. Prestasi yang bagus di sekolah membuatnya terpilih sebagai penerima beasiswa. Raeni menjadi satu di antara 1.850 siswa di Unnes yang mendapat beasiswa Bidikmisi –beasiswa bagi mahasiswa miskin berprestasi dari negara. Sehingga bisa kuliah dengan biaya gratis. “Sejak saat itu, saya berjanji melakukan yang terbaik,” ujar Raeni.
Raeni mengaku sempat minder dengan kondisi orangtuanya. Namun dengan cepat perasaan itu dia hapus dari kamus hidup. Dukungan besar merupakan alasan yang cukup untuk membuatnya bangga kepada keluarga. “Dulu pernah minder orangtua tukang becak. Tapi, kenapa minder? Beliau orangtua saya, mendidik saya, meski tidak memberi biaya hidup banyak (saat kuliah), tapi mendukung saya. Saya sangat bangga,” tutur dia.
Kepercayaan diri Raeni tumbuh. Dia bisa bergaul dengan teman-teman di kampus. Perempuan yang bercita-cita sebagai guru ini pun berkali-kali membuktikan kemampuan. Prestasi selama kuliah benar-benar cemerlang. Beberapa kali ia memperoleh indeks prestasi 4. Sempurna. Dan saat lulus, IPK dia 3,96.
Raeni mengaku tak punya resep khusus. Bagi dia, yang penting belajar sungguh-sungguh dan mengatur waktu dengan efisien. Dengan strategi itu, Raeni mampu menyelesaikan kuliahnya dalam waktu singkat. Hanya tiga setengah tahun.
Mimpi Raeni tak hanya lulus strata satu. Dia masih ingin melanjutkan studinya ke jenjang strata dua dan seterusnya. Dan kampus yang dia tuju bukan lagi berada di dalam negeri.
“Selepas lulus sarjana, saya ingin melanjutkan kuliah lagi. Inginnya melanjutkan (kuliah) ke Inggris. Ya, kalau ada beasiswa lagi,” kata Raeni. “Saya mau ambil gelar magisternya di LSE,” katanya. LSE adalah singkatan dari London School of Economics, sebuah universitas terbaik di Inggris.
Prestasi mencorong Raeni sontak menjadi perhatian banyak pihak. Kisahnya ditulis oleh berbagai media. Dan setelah lulus itu, banyak tawaran beasiswa datang kepadanya. Tak hanya itu, berbagai perusahaan pun berbondong datang melamar.
Raeni pun melakukan persiapan skor IELTS dan TOEFL-nya untuk bisa mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari London School of Economics, kampus idamannya. Saat kuliah, dia pernah mencoba tes TOEFL dan skornya saat itu hanya mencapai 500.
Namun yang dibutuhkan untuk lolos di LSE lebih tinggi dari angka itu. “Saya lihat, beberapa kali buka beritanya, TOEFL dan IELTSnya yang diminta tinggi banget,” kata dia.
“Tapi skor itu saya tempel di kamar, biar saya ingat, buat acuan saya setiap kali lihat tempelan itu, Insya Allah bisa, saya bisa mengejar itu.”
Selain belajar dengan giat, kata Raeni, doa orangtua juga menjadi pengaruh dari keberhasilannya. “Doa orangtua memberikan kontribusi sangat luar biasa. Bapak saya berpesan jika ia tidak bisa memberikan apa-apa tapi hanya bisa berdoa semoga saya menjadi yang terbaik,” ujar Raeni.
Mugiyono pun berharap kesempatan beasiswa ke London dapat digunakan Raeni dengan baik, sama seperti ketika di Unnes. Pria 55 tahun yang kini bekerja di Rumah Dinas Bupati Kendal, Jawa Tengah, ini berharap anaknya bisa sekolah setinggi mungkin.
“Kalau mengenai materi, saya sudah tidak mampu lagi memberikannya kepada Raeni. Untuk itu, saya berterimakasih kepada pemerintah yang sangat peduli kepada pendidikan Raeni,” kata Mugiyono.
Raeni telah membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi tak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu. Belitan ekonomi bisa dikalahkan dengan kesungguhan tekad.
Kisah Raeni juga telah menghentak seantero negeri. Lalu apa keinginan terbesarnya? “Saya hanya ingin bermanfaat untuk banyak orang. Terutama untuk anak-anak yang tidak mampu seperti saya,” tutur Raeni polos.
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
0 komentar
Posting Komentar