Total Tayangan Halaman

Sabtu, 11 Juni 2016

Jurang Ideologis di balik Keretakan Erdogan Dengan Fethullah Gulen

?ِ?ْ?????????????????ِ ??ِ???َّ?ْ?َ?ِ ???َّ?ِ??

 Hingar bingar dalam perpolitikan Turki saat ini yang melibatkan menteri kabinet Turki menyebarkan persepsi luas di masyarakat bahwa adanya “krisis moralitas” pada tubuh AKP. Peristiwa ini masih hangat diperbincangkan karena kasusnya masih panas, bergulir ke sana ke mari, selain melibatkan pihak kementerian, juga melibatkan pihak perbankan negara, pengusaha internasional, bahkan kepolisian itu sendiri. Namun yang lebih ramai dan menjadi ‘hal yang baru’ bagi masyarakat untukdiperbincangkan adalah adanya keretakan yang cenderung menjadi konflik terbuka antara AKP dengan Kelompok Hizmet yang didirikan oleh Fethullah Gulen. Sambil menantikan perkembangan terakhir kasus penyuapan anak 3 menteri Turki ini, banyak pihak mulai membedah asal muasal keretakan antara Erdogan dengan Gulen.



Siapa mereka?

Gerakan Fethullah Gulen mengikuti ajaran sufi Islam terkemuka Turki, Bediuzzaman Said Nursi, dan pemimpin gerakan ini mengasingkan diri dengan tinggal di Pennsylvania sebuah negara bagian dari AS. Kelompok Gulen meraih pengaruh luar biasa di Turki dan luar negeri karena kegiatan pendidikan dan budayanya, dengan menjalankan sekolah-sekolah di seluruh dunia. Gerakan ini suka menyebut dirinya sebagai ” Kelompok Gulen” atau “Gerakan Hizmet”. Pada pandangan pertama, mungkin tampak bahwa konflik antara Gulen dan pemerintah Turki adalah karena keputusan pemerintah untuk menutup beberapa pusat pendidikan swasta. Pada kenyataannya, alasannya lebih banyak dan lebih dalam, hakikat dari konflik ini lebih dari sekadar terkait dengan isu-isu politik, namun lebih disebabkan oleh perbedaan latar belakang pemikiran serta hubungan antar-komunitas.

Partai berkuasa AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan Turki), yang dipimpin oleh Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan, semenjak pendiriannya dan meraih kekuasaan pada tahun 2002, telah mampu menggabungkan kekuatan kelompok liberalis dan gerakan Fethullah Gulen yang cukup berpengaruh. Selama sepuluh tahun terakhir, koalisi ini telah berjuang keras melawan faksi sekuler ekstrim seperti jaringan Ergenekon, sebuah organisasi klandestin yang diduga memiliki hubungan dengan militer dan pasukan keamanan Turki. Koalisi ini telah bekerja keras pula membangun demokrasi dan nilai-nilai demokrasi, namun sejak pengaruh militer merosot tajam akibat perwira seniornya diadili, ketiadaan musuh bersama menyebabkan koalisi kehilangan kekuatannya untuk menyatukan visi anggotanya.

Awal Konflik

Pada tahun 2012, jaksa Turki mengungkapkan bahwa seorang perwira intelijen telah terlibat dalam pertemuan-pertemuan rahasia dengan PKK (Partai Komunis Kurdi), sebuah gerakan pembebasan Kurdi. Mencuatnya hal ini mulai menyebabkan konflik antara AKP dan gerakan Gulen, dimana Erdogan melihat langkah kejaksaan -yang notabene dianggap sebagai agen Gulen- sebagai tindakan yang secara langsung menargetkan dirinya. Akibatnya, parlemen mengesahkan undang-undang yang mempersyaratkan persetujuan perdana menteri atas segala tindakan pejabat intelijen. Hubungan antara partai Erdogan dan kelompok Gulen semakin berubah, ketika wartawan yang berafiliasi ke Gulen mengangkat dua tulisan tentang perdana menteri sebagai ” otoriter” dan “diktator”.
Mencari Kutub Baru atau Tangan Lama?

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya pemerintah Erdogan menggunakan demokrasi untuk melaksanakan konstitusi baru ada beberapa yang tercapai, namun banyak pula yang mengalami kegagalan. Hal ini sedikit banyak menghentikan upaya untuk bergabung dengan Uni Eropa dan telah mereorientasi politik Turki untuk secara bertahap merapat ke Timur Tengah.

Banyak liberal menarik diri dari koalisi untuk bergabung dengan barisan oposisi dengan menuduh pemerintah “hanya menyeret kakinya ” untuk melakukan reformasi yang diperlukan agar bisa masuk ke Uni Eropa. Pemerintah membela diri dengan mengatakan bahwa kaum liberal ini ingin mendapatkan kekuasaan, melalui pandangan mereka dan opini politik yang menentang keyakinan konservatif yang dianut partai yang berkuasa.

Turki telah memiliki sejumlah perbedaan pendapat dengan Israel dan ini telah menyebabkan dirinya untuk menjauhkan diri sebagai sekutu Barat. Bisa dikatakan, pemerintah di Ankara kini bergerak menuju afiliasi baru dengan Rusia dan Iran, di samping Qatar yang sudah lama terjalin erat. Meski demikian, penting bagi Turki untuk tidak membangkitkan konflik terbuka lebih lanjut dengan Tel Aviv saat ini, karena hanya akan menyebabkan banyak masalah yang tidak perlu.

Erdogan meski sebagai produk didikan mantan Perdana Menteri Necmettin Erbakan, lalu mengoreksi kebijakan mentornya tersebut dengan mengecam penggunaan “slogan kosong” dalam mengatur pemerintahan. Namun akhir-akhir ini dia telah mengatakan bahwa ia akan melepas pola politik yang khas Erdogan tersebut, dan mencoba pola baru yang seolah-olah ia telah menjauhkan diri dari strategi politik luar negeri yang realistis. PM Erdogan berpetualang dengan mengadopsi kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Mesir dan Suriah, hal ini menyebabkan banyak kebingungan di Turki dan menyebabkan hilangnya banyak sekutu asingnya.

Pemerintah Turki memang tampak memiliki simpati yang berlebihan terhadap Iran yang harus berjuang menghadapi embargo Barat, dan sangat percaya bahwa Teheran memiliki status sebagai korban dalam posisi ini. Meskipun tidak diperlukan untuk mengambil sikap anti-Iran, namun pemerintah tetap harus waspada terhadap tujuan Iran yang memiliki agenda besar untuk melakukan ekspansi regional dan global dari segi politik dan ideologi, apalagi ternyata Amerika Serikat tampak mesra dengan Iran jika sudah harus berhadapan dengan pemberontakan kaum Sunni di Syria dan Irak. Bisa saja memang ada pendukung kuat terhadap kebijakan pro-Iran di AKP inilah yang melatarbelakangi sikap pemerintah Turki terhadap Iran saat ini. Namun efek dari pengaruh Iran tidaklah dimonopoli oleh AKP semata, Fethullah Gulen pun banyak mendidik pengikutnya untuk mencintai produk khasanah intelektual yang berlandaskan pada perawi imam Syiah -yang notabene bertolak belakang dengan mazhab Hanafi yang mayoritas dianut masyarakat Turki- agar dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari anggotanya. Apa mau dikata, Iran benar-benar telah memiliki pengaruh riil dalam kehidupan politik dan ideologis bangsa Turki dewasa ini, dan entah hingga kapan. Sejarah membuktikan bahwa Iran adalah satu-satunya bangsa yang mampu menjajah bangsa Turki selama 2 abad berturut-turut (abad 16-18), di mana dinasti Safawi menguasai seluruh wilayah Turki Timur. Sekarang pun, kebutuhan energi Turki masih sangat bergantung pada Iran.

Sementara dari dalam negeri

Bagaikan dua sisi pada koin yang sama, meski Kelompok Gulen mendukung gagasan membuka diri terhadap PKK (Partai Komunis Kurdi), namun dirinya memiliki banyak keberatan mengenai kebijakan Erdogan tentang hal ini. Gulen mengatakan cenderung pada gagasan rekonsiliasi politik, namun di sisi lain percaya bahwa Erdogan membuat konsesi yang tidak perlu dengan PKK, yang akan mendorong kelompok tersebut untuk melanjutkan propagandanya dan semakin menolak untuk menarik diri dari wilayah Turki.

Beralih ke masalah terkini, dalam menutup beberapa pusat pendidikan swasta,memang Erdogan tampak menargetkan Kelompok Gulen. Pusat-pusat pendidikan tersebut adalah produk budaya yang paling menonjol dari kelompok tersebut dimana pendidikan merupakan filosofi intinya. Anggota Gulen sering dituduh mencari kekuasaan, tapi ini adalah tuduhan yang tidak memiliki dasar. Memang sangat diharapkan bahwa anggota sebuah kelompok terkemuka seperti ini didaulat untuk memiliki posisi di pemerintahan dan diberi kesempatan untuk melayani negara mereka. Kelompok Gulen sering beretorika bahwa dirinya senantiasa berdiri melawan kecenderungan separatis Kurdi dan penetrasi Iran di Turki, terutama di daerah mayoritas Kurdi, jadi siapa yang akan mendapatkan keuntungan jika dirinya menjadi sasaran?

Pemerintah Turki dan lingkaran dekatnya menolak retorika Gulen semacam ini, mereka mencatat bahwa kelompok Gulen memang memiliki keinginan kuat untuk berpartisipasi dan mempengaruhi pemerintah yang berkuasa namun tanpa ingin memikul beban tanggung jawab politik itu sendiri. Pemerintah yang melihat dirinya sebagai representasi dari kehendak rakyat tentu tidak akan dapat menyerahkan kekuatan kepada pihak ketiga begitu saja, apalagi setelah rakyat Turki mengamanahkan kekuasaan pada AKP melalui kotak suara secara mutlak (lebih dari 50%), sementara gerakan Gulen tidak berpartisipasi dalam pemilu. Dalam sistem demokrasi, tidak dapat diterima jika ada sebuah negara dalam negara. Pemerintah berpendapat bahwa seharusnya Kelompok Gulen (yang lebih mirip Partai) jika memang mencari otoritas harus membentuk partai politik resmi dan terbuka yang akan dapat berpartisipasi dalam pemilu secara demokratis dan melaluinya meminta mandat dari rakyat Turki.

Selama pemerintahan AKP sepuluh tahun terakhir ini, kelompok Gulen mengalami hari-hari terbaiknya. Padahal, sebelum kenaikan Erdogan, banyak faksi sekuler berusaha melabeli kelompok Gulen sebagai kelompok teroris, sebelum akhirnya perdana menteri ini memblokir hal tersebut dengan mengubah undang-undang anti-terorisme.

Keputusan pemerintah untuk menutup pusat-pusat pendidikan swasta sejatinya tidaklah dimaksudkan untuk menargetkan kelompok tertentu. Itu adalah sebagian kecil dari reformasi komprehensif untuk mengubah sistem pendidikan secara general, yang diberi nama gerakan FATIH, yang intinya adalah mengatasi kekurangan pengajar pendidikan negara dan sekaligus mengurangi beban biaya pada banyak keluarga tanpa mengorbankan kualitas dan mutu pengajaran. Namun, memang yang paling resisten terhadap kebijakan ini adalah kelompok Gulen. Hal ini adalah aneh, mengingat pada tahun 1997 ketika militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan partai Refah, Fethullah Gulen sendiri yang menyarankan agar swasta menyerahkan tanggung jawab pengelolaan universitas dan sekolah kepada pemerintah, namun mengapa kelompok ini baru sekarang membela swastanisasi sekolah bahkan seolah-olah hal ini adalah masalah hidup atau mati bagi negara?

Sikap Fethullah Gulen, sungguh sangat bertolak belakang dengan waktu ketika perahu Mavi Marmara yang berbendera Turki tergabung dalam Freedom Flotilla berlayar ke Gaza dalam rangka menembus barikade Israel pada tahun 2010. Dia menyatakan bahwa pihak penyelenggara (termasuk negara pendukungnya) harus berkoordinasi dan tunduk dengan kekuatan dan aturan pemerintahan lokal, yang jelas-jelas hal ini mereferensikan pada Israel dan bukan pada pemerintahan Gaza. Hal ini sejalan dengan filosofi Gulen yang menyatakan bahwa tidak ada yang berhak bekerja di luar kerangka kekuatan penguasa lokal. Mengapa ia sekarang justru mendukung habis-habisan bekerja di luar kerangka politik pemerintah yang berkuasa?

Sangat penting bahwa pemerintah menemukan jawaban untuk pertanyaan Kurdi demi masa depan Turki. Sementara Erdogan mungkin lebih suka ‘main intervensi militer’ dibandingkan solusi politik (mengutip istilah dari kelompok Gulen ), tapi itu tidak berarti suatu sikap yang a-nasionalistik dalam menemukan solusi dan menentukan langkah, seperti yang dituduhkan Gulen. Justru mungkin tindakan intervensi militer bisa dikatakan sangat patriotik.

Partai Politik dan Kelompok Sosial

Partai-partai politik cenderung lebih transparan daripada kelompok agama yang mengkuduskan pemimpin mereka dan mematuhi mereka secara membabi buta. Hal yang tidak masuk akal untuk menuduh presiden yang terpilih secara demokratis dan selalu diawasi kerjanya oleh parlemen dengan mengatakan memiliki kecenderungan diktator atau otoriter. Kelompok Gulen juga telah menuduh pemerintah membungkam media. Padahal dalam stasiun televisi yang berafiliasi pada pemerintah sekalipun, ada individu yang secara terbuka dan bebas mengkritik kebijakan pemerintahnya, tidak seperti televisi milik Gulen, yang tidak pernah dan tampaknya tidak akan pernah menyiarkan berita kritis terhadap gerakan atau kebijakan pemimpinnya.

Tidak ada dasar untuk menuduh pemerintah sangat pro-Iran. Hal ini jelas terlihat dalam pendekatan yang benar-benar berlawanan antara Ankara dan Teheran berkaitan dengan isu Suriah. Justru sebaliknya, yang harus dipertanyakan adalah hubungan antara kelompok Gulen dengan Amerika Serikat. Mengapa Fethullah Gulen memilih untuk tinggal dan menetap di Pennsylvania daripada kembali ke tanah airnya?

Di tengah kritik dan suasana saling tuding, ada hikmah yang bisa kita petik bahwa pemerintah ada kalanya masih mengalami ketidakseimbangan dalam memperhatikan kebutuhan elemen-elemen masyarakat, akibat terkurasnya energi birokrasi yang selalu diawasi kerjanya oleh parlemen. Sementara kita juga harus memahami bahwa kelompok-kelompok sipil ini memiliki sifat terbatas dalam peran mereka di ranah politik dan kebijaksanaan publik, dan konflik horizontal maupun vertikal sering diakibatkan oleh masalah-masalah yang muncul di seputar komunikasi yang mampet seperti ini.

Jika perbedaan pendapat ini tidak segera ditangani dan masing-masing pihak tetap tidak setuju untuk bekerja dalam ranah masing-masing, konflik domestik antara kelompok sipil dan partai politik ini tidak akan pernah berakhir. Hal ini rentan dimanfaatkan oleh pihak eksternal. Demi keselamatan Turki ke depan, menjadi sangat elegan jika pemerintah Erdogan pun mulai memilah, memperketat hubungan dengan pihak-pihak eksternal yang sesungguhnya memiliki agenda ekspansionis-predatoris. Sudah menjadi tugas AKP dituntut untuk terus kreatif mencari hubungan dengan negara alternatif yang lebih mendatangkan kemaslahatan bangsa Turki jangka panjang.
Sumber. AlJazeera. Middle East Monitor


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/01/09/44546/jurang-ideologis-di-balik-keretakan-erdogan-dengan-fethullah-gulen/#ixzz4BKGNfK8H
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ ??ْ?َٰ?َ?ِ??

Artikel Terkait

0 komentar

Posting Komentar

Cancel Reply
Share It