Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan*
Pada masa belakangan, khususnya era reformasi, arus kebebasan di negeri ini begitu terbuka bahkan melebihi batas yang tak terduga dan cenderung mengerikan. Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat (people) dan Negara (State). Dahulu adalah hal yang tabu bahkan menakutkan jika ada yang memberikan kritik dan nasihat kepada penguasa, sedangkan saat ini sudah tidak demikian. Ada yang memanfaatkan momen kebebasan ini sesuai tuntunan syariah, ada pula yang kebablasan membabi buta. Sedangkan sikap yang benar adalah sikap pertengahan sebagaimana yang ditekankan oleh Islam.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasathan (pertengahan) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah (2): 143)
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baiknya perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.” (HR. Al Baihaqi)
Kita menyaksikan, ada manusia yang mengkritik dan menasihati penguasa secara terang-terangan dalam hal yang seharusnya disembunyikan, yakni kehidupan pribadi dan kesalahan yang sifatnya pribadi yang tidak membawa dampak buruk kecuali untuk diri penguasa itu sendiri. Sehingga terbukalah aibnya, tersingkaplah kejelekan pribadinya.
Kita juga menyaksikan, ada manusia yang banci dan sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap kekeliruan penguasa, walaupun kekeliruan itu membawa mudharat dan penderitaan bagi rakyatnya, dengan alasan menasihati penguasa harus diam-diam, tidak boleh terbuka. Bahkan mereka menuduh bahwa yang melakukan nasihat dengan terbuka adalah kaum khawarij. Akhirnya, fakta keadaan mereka pun sekedar teori belaka, mereka tidak melakukan apa-apa.
Kedua sikap ini tidaklah benar dan sama-sama berlebihan. Tidak memperhatikan masalah secara utuh dan menyeluruh. Hanya berpatokan pada sebagian dalil namun melupakan dalil lainnya.
Dua Jenis Kesalahan
Secara umum, manusia –termasuk para pemimpin- akan melakukan dua jenis kesalahan, sebagai berikut:
1. Kesalahan Yang Membawa Dampak Bagi Pribadi Saja
Ini adalah aib pribadi yang tidak boleh disebarkan ke khalayak ramai. Setiap orang memiliki aib peribadi, baik perbuatannya atau berupa cacat tubuh. Semua ini sama sekali tidak merugikan orang lain selain dirinya. Maka, tidak dibenarkan menasihatinya secara terang-terangan, sebab sama saja hal itu menelanjangi kehormatan sesama muslim. Justru, jika mengetahui kesalahan yang sifatnya pribadi tersebut, kita dianjurkan untuk menutupinya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, No. 2545. Ahmad, No.16346 dari Maslamah bin Makhlad. Imam Al Haitsami mengatakan: “rijal hadits ini adalah rijal hadits shahih.” Majma’ Az Zawaid, 6/246)
2. Kesalahan Yang Membawa Dampak Pada Orang Banyak
Kesalahan jenis ini, baik dalam urusan dunia atau agama, maka dibolehkan dalam syariat untuk ditegur secara terang-terangan. Baik yang dilakukan oleh orang biasa atau pemimpin. Sebab, jika dinasihati secara diam-diam, padahal dia berbuat kekeliruan secara terangan-terangan dan membawa dampak secara massal, maka dikhawatiri tobatnya itu tidak diketahui dan diikuti orang lain yang mengalami dampak dari kekeliruannya. Menasihatinya secara terang-terangan bukan termasuk kategori ghibah yang diharamkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullahdalam kitab Riyadh Ash Shalihin.
Keterangan Imam An Nawawi tentang ghibah yang ditoleransi, akan saya ringkas sebagai berikut:
1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan orang yang menganiaya.
2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.
3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?
4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
5. Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
6. Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang disandangnya, seperti Al A’masy (buram matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al ‘Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah disandang oleh sebagian ulama hadits. (Imam An Nawawi, Riyadhush Shalihin, Hal. 366-367. Maktabatul Iman. Al Manshurah)
Pemimpin juga Mesti Dinasihati
Tidak ada yang tidak membutuhkan nasihat, tidak terkecuali bagi para pemimpin. Dari Tamim Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim, No. 55. Abu Daud, No. 4944)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari makna ‘nasihat untuk imam kaum muslimin’:
وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ
“Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 1/144/82. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Bahkan menasihati pemimpin yang zalim termasuk jihad yang paling afdhal. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705)
Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh penguasa zalim disebabkan amar ma’ruf nahi munkar, dia termasuk pemimpin para syuhada. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, Juz. 11, hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374)
Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub(metode). Kedua cara ini (terang-terangan/diam-diam) pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pemimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.
Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.” (HR. Ahmad, No. 14792. Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini pula. Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata. Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan
Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was Salam
Metode ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al Quran:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)
Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz. Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat ini, dengan gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja Namrudz secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat secara terang-terangan di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayatNya:
“Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”(QS. Al An’am 96): 83)
Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan beriman kepada Allah Ta’ala. Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Metode ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“ …. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut. Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Pada masa belakangan, khususnya era reformasi, arus kebebasan di negeri ini begitu terbuka bahkan melebihi batas yang tak terduga dan cenderung mengerikan. Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat (people) dan Negara (State). Dahulu adalah hal yang tabu bahkan menakutkan jika ada yang memberikan kritik dan nasihat kepada penguasa, sedangkan saat ini sudah tidak demikian. Ada yang memanfaatkan momen kebebasan ini sesuai tuntunan syariah, ada pula yang kebablasan membabi buta. Sedangkan sikap yang benar adalah sikap pertengahan sebagaimana yang ditekankan oleh Islam.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baiknya perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.” (HR. Al Baihaqi)
Kita menyaksikan, ada manusia yang mengkritik dan menasihati penguasa secara terang-terangan dalam hal yang seharusnya disembunyikan, yakni kehidupan pribadi dan kesalahan yang sifatnya pribadi yang tidak membawa dampak buruk kecuali untuk diri penguasa itu sendiri. Sehingga terbukalah aibnya, tersingkaplah kejelekan pribadinya.
Kita juga menyaksikan, ada manusia yang banci dan sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap kekeliruan penguasa, walaupun kekeliruan itu membawa mudharat dan penderitaan bagi rakyatnya, dengan alasan menasihati penguasa harus diam-diam, tidak boleh terbuka. Bahkan mereka menuduh bahwa yang melakukan nasihat dengan terbuka adalah kaum khawarij. Akhirnya, fakta keadaan mereka pun sekedar teori belaka, mereka tidak melakukan apa-apa.
Kedua sikap ini tidaklah benar dan sama-sama berlebihan. Tidak memperhatikan masalah secara utuh dan menyeluruh. Hanya berpatokan pada sebagian dalil namun melupakan dalil lainnya.
Dua Jenis Kesalahan
Secara umum, manusia –termasuk para pemimpin- akan melakukan dua jenis kesalahan, sebagai berikut:
1. Kesalahan Yang Membawa Dampak Bagi Pribadi Saja
Ini adalah aib pribadi yang tidak boleh disebarkan ke khalayak ramai. Setiap orang memiliki aib peribadi, baik perbuatannya atau berupa cacat tubuh. Semua ini sama sekali tidak merugikan orang lain selain dirinya. Maka, tidak dibenarkan menasihatinya secara terang-terangan, sebab sama saja hal itu menelanjangi kehormatan sesama muslim. Justru, jika mengetahui kesalahan yang sifatnya pribadi tersebut, kita dianjurkan untuk menutupinya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, No. 2545. Ahmad, No.16346 dari Maslamah bin Makhlad. Imam Al Haitsami mengatakan: “rijal hadits ini adalah rijal hadits shahih.” Majma’ Az Zawaid, 6/246)
2. Kesalahan Yang Membawa Dampak Pada Orang Banyak
Kesalahan jenis ini, baik dalam urusan dunia atau agama, maka dibolehkan dalam syariat untuk ditegur secara terang-terangan. Baik yang dilakukan oleh orang biasa atau pemimpin. Sebab, jika dinasihati secara diam-diam, padahal dia berbuat kekeliruan secara terangan-terangan dan membawa dampak secara massal, maka dikhawatiri tobatnya itu tidak diketahui dan diikuti orang lain yang mengalami dampak dari kekeliruannya. Menasihatinya secara terang-terangan bukan termasuk kategori ghibah yang diharamkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullahdalam kitab Riyadh Ash Shalihin.
Keterangan Imam An Nawawi tentang ghibah yang ditoleransi, akan saya ringkas sebagai berikut:
1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan orang yang menganiaya.
2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.
3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?
4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
5. Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
6. Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang disandangnya, seperti Al A’masy (buram matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al ‘Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah disandang oleh sebagian ulama hadits. (Imam An Nawawi, Riyadhush Shalihin, Hal. 366-367. Maktabatul Iman. Al Manshurah)
Pemimpin juga Mesti Dinasihati
Tidak ada yang tidak membutuhkan nasihat, tidak terkecuali bagi para pemimpin. Dari Tamim Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim, No. 55. Abu Daud, No. 4944)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari makna ‘nasihat untuk imam kaum muslimin’:
وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ
“Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 1/144/82. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Bahkan menasihati pemimpin yang zalim termasuk jihad yang paling afdhal. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705)
Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh penguasa zalim disebabkan amar ma’ruf nahi munkar, dia termasuk pemimpin para syuhada. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, Juz. 11, hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374)
Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub(metode). Kedua cara ini (terang-terangan/diam-diam) pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pemimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.
Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.” (HR. Ahmad, No. 14792. Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini pula. Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata. Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan
Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was Salam
Metode ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al Quran:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)
Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz. Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat ini, dengan gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja Namrudz secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat secara terang-terangan di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayatNya:
“Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”(QS. Al An’am 96): 83)
Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan beriman kepada Allah Ta’ala. Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Metode ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“ …. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut. Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin:
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
“Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahimallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
كان أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير
“Yang paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Sementara Ali Al Madini berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
“Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:
فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل
“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al Hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.
Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam Fiqih dan hadits pada masa tabi’in. Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:
كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم
“Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)
Daud bin Abi Hindi berkata:
ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)
Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:
ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي
“Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)
Dan masih banyak sanjungan lainnya.
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah
Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukkan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama. Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
Siapakah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu? Pada masanya dia dikenal orang yang sangat wara’, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di jalan Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.
Banyak orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut bersama pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah dan takut, maka ia memberikan semangat kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbuka kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid berkata:
“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untuk menyerang kaum muslimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan kepada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.” (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)
Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya. Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan di hadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
***
Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah dengan dinasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pula hal itu disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Wallahu A’lam wa Waliyyut Taufiq
Sumber: Nahimunkar.com
??ْ?َ?ْ?ُ ?ِ?َّ?ِ ?َ?ِّ
??ْ?َٰ?َ?ِ??
0 komentar
Posting Komentar